Sabtu, 10 Januari 2015

Mengawal Demokrasi, Independensi Media Harga Mati



BERANDA RAKYAT JEMBER - Dalam negara demokrasi berlaku sebuah tata nilai agar seseorang itu mampu menyampaikan pendapatnya secara leluasa. Demokrasi tidak dapat dilihat hanya sebagai prosedur, melainkan juga harus dipahami secara subtansial, dan dalam proses inilah peran pers sangat penting.


Pernyataan tersebut dilontarkan Aga Suratno, Direktur Prosalina FM, saat menjadi pembicara diskusi dengan tajuk Peran Pers Dalam Mengawal Demokrasi, yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember di aula UPT Liposos, Dinas Sosial Jember, Sabtu (10/1) kemarin.

Menurutnya, demokrasi dicirikan dengan poliarkhi atau dikendalikan banyak kekuasaan. Sehingga haruslah ada pengawasan dari rakyat secara langsung, baik input maupun output setiap kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Bahkan secara ekstrim dia mengatakan, “jika diminta memilih apakah pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya memilih opsi yang terakhir,”  tegasnya, yang menjelaskan bahwa kalimat tersebut mengutip pendapat Thomas Jamerson, Presiden ketiga Amerika Serikat.

Begitu pentingnya peran pers dalam demokrasi, lanjut Aga - sapaan akrabnya, fungsi pers tak cukup hanya sebagai pengamat maupun control bagi kebijakan pemerintah, melainkan juga sebagai Voice of Voices, penyambung lidah, yang menyuarakan kehendak rakyat, “disinilah peran pers, perusahaan media dituntut tak hanya netral, tetapi juga independent,” terangnya.

Aga meyakini, selain sebagai penjaga gawang demokrasi, pers juga mengemban tugas untuk membangun sebuah peradaban masyarakat, sangat aneh jika sepakat dengan demokrasi, tapi membuat informasi yang bohong, informasi sampah, dan memperparah konflik. Tak hanya peranan dalam demokrasi, pers itu juga bertujuan untuk membangun civilize (masyarakat beradab), bukan uncivilize (masyarakat tak beradab),” ujarnya.
Ada sebuah tren pada tahun 1985 di Amerika, ucap Aga, tentang menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pers dalam melindungi demokrasi di negara tersebut. Menurutnya, tahun 1945 40 persen masyarakat masih percaya terhadap pers, namun beberapa tahun setelah itu hanya 21 persen masyarakat yang percaya, “waktu itu di Amerika, masyarakat tak lagi percaya bahwa pers itu melindungi demokrasi,” tandasnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Paska era reformasi, independensi media terusik dengan adanya komerisialisasi dan konglomerasi media. Dampaknya ada monopoli informasi, media hanya dikuasai oleh beberapa orang. Di Indonesia, kata Aga, kecenderungaanya ada relasi antara pengusaha, penguasa dan pemilik media, sehingga ada pemaksaan kebenaran. “Jika semakin banyak media yang tak independen, maka masyarakat lah yang akan mencari kebenaran dengan sendirinya,” ucapnya.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jember, Ahmad Hanafi, yang turut menjadi pembicara pada acara tersebut menuturkan, media punya peran lebih dari sekedar mengawal demokrasi. Meski trennya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pers semakin menurun.Media memiliki tanggung jawab dalam melakukan pendidikan politik, sehingga masyarakat dapat menggunakan kecerdasannya dalam menentukan pilihan, tidak hanya berdasarkan kedekatan atau emosional semata,” ujarnya.

Soal independensi pers, Komisioner KPU Jember yang masih menjabat Ketua Ikatan Jurnalis Tevevisi di Jember ini menilai, media pada saat pemilu legislatif kemarin sangat tidak independen. Media televisi, contohnya, meski sudah sama dalam hal durasi, tetapi tidak sama dalam hal tone, “dalam setiap momentum politik, indepensi media perlu dipertanyakan. Padahal media memiliki fungsi yang sangat vital dalam mensukseskan demokrasi,” paparnya.

Meski begitu Hanafi juga mengakui jika ada tuntutan industri dalam dunia pers, yang mengakibatkan media menjadi tidak bebas nilai. Namun bukan berarti media yang tidak jujur yang memaksakan kepentingan mereka dan bersembunyi dalam dogma otoritas kesucian independensi media’ lantas dimaklumi, “media memang tidak bebas nilai, sehingga jurnalis menjadi wajib hukumnya untuk memihak kepada kebenaran, kaum marginal dan terpinggirkan,” katanya, sembari menegaskan independensi jurnalis lah yang menjadi kata kuncinya.

Sigit Edi Marianto, ketua PWI Jember, yang juga didapuk untuk menjadi nara sumber melontarkan pernyataan lebih keras lagi, bahwa peran pers saat ini sudah banyak yang melenceng dari fungsinya, “jangan sampai media atau atau wartawan menjadi provokator yang dilegalkan? Sebab tidak jarang pemberitaan yang muncul ditunggangi oleh kepentingan oknum-oknum yang mencari untung,” ujar Sigit.

Sementara itu, Ihya Ulumiddin, ketua FWLM Jember mengatakan, diskusi-diskusi seperti ini harus terus digalakkan. Menurutnya, hasil dari diskusi ini adalah oto kritik yang berangkat dari kegelisahan bersama akan pentingnya peran pers dalam proses demokratisasi. “Meski fakta demokrasi kita masih prosedural, akan tetapi dengan segala keterbatasannya, pers harus mampu mendorong arah demokrasi kita menjadi demokrasi subtansial. Dan FWLM Jember siap menjadi motor penggeraknya,” terangnya. (ruz).

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Berita Terlaris

Translate