BERANDA
RAKYAT JEMBER - Dalam negara demokrasi berlaku sebuah tata
nilai agar seseorang itu mampu menyampaikan pendapatnya secara leluasa. Demokrasi tidak dapat dilihat hanya sebagai prosedur, melainkan juga harus dipahami secara
subtansial, dan dalam proses inilah peran pers sangat penting.
Pernyataan
tersebut dilontarkan Aga Suratno, Direktur Prosalina FM, saat menjadi pembicara
diskusi dengan tajuk Peran Pers Dalam Mengawal Demokrasi, yang diselenggarakan
oleh Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember di aula UPT Liposos, Dinas
Sosial Jember, Sabtu (10/1) kemarin.
Menurutnya, demokrasi dicirikan dengan
poliarkhi atau dikendalikan
banyak kekuasaan. Sehingga haruslah ada pengawasan dari rakyat secara
langsung, baik input maupun output setiap kebijakan-kebijakan yang
dihasilkan oleh pemerintah. Bahkan secara ekstrim dia mengatakan, “jika diminta
memilih apakah pemerintah
tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, maka saya memilih opsi yang
terakhir,” tegasnya, yang menjelaskan bahwa
kalimat tersebut mengutip pendapat Thomas Jamerson, Presiden ketiga Amerika
Serikat.
Begitu
pentingnya peran pers dalam demokrasi, lanjut Aga - sapaan akrabnya, fungsi pers tak cukup
hanya sebagai pengamat maupun control bagi kebijakan pemerintah, melainkan juga
sebagai Voice of Voices, penyambung
lidah, yang menyuarakan kehendak rakyat, “disinilah peran pers, perusahaan
media dituntut tak hanya netral, tetapi juga independent,” terangnya.
Aga meyakini,
selain sebagai penjaga gawang demokrasi, pers juga mengemban tugas untuk
membangun sebuah peradaban masyarakat, “sangat aneh jika sepakat dengan demokrasi, tapi membuat informasi yang
bohong, informasi sampah, dan memperparah konflik. Tak hanya
peranan dalam demokrasi, pers itu juga bertujuan untuk membangun civilize
(masyarakat beradab), bukan uncivilize (masyarakat
tak beradab),” ujarnya.
Ada sebuah tren pada tahun 1985 di Amerika, ucap Aga,
tentang menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pers dalam melindungi
demokrasi di negara tersebut. Menurutnya, tahun 1945 40 persen masyarakat masih percaya terhadap
pers, namun
beberapa tahun setelah itu hanya 21
persen masyarakat yang percaya, “waktu itu di Amerika, masyarakat tak lagi
percaya bahwa pers itu melindungi demokrasi,” tandasnya.
Bagaimana
dengan Indonesia? Paska era reformasi, independensi media terusik dengan adanya komerisialisasi dan
konglomerasi media. Dampaknya ada monopoli informasi, media hanya dikuasai oleh
beberapa orang. Di Indonesia, kata Aga, kecenderungaanya ada relasi antara
pengusaha, penguasa dan pemilik media, sehingga ada pemaksaan kebenaran. “Jika semakin
banyak media yang tak independen, maka masyarakat lah yang akan mencari kebenaran dengan
sendirinya,” ucapnya.
Anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jember, Ahmad Hanafi, yang turut menjadi
pembicara pada acara tersebut menuturkan, media punya peran lebih dari sekedar
mengawal demokrasi. Meski trennya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pers semakin menurun. “Media memiliki tanggung jawab
dalam melakukan pendidikan politik, sehingga masyarakat dapat menggunakan
kecerdasannya dalam menentukan pilihan, tidak hanya berdasarkan kedekatan atau emosional semata,”
ujarnya.
Soal independensi pers, Komisioner KPU
Jember yang masih menjabat Ketua Ikatan Jurnalis Tevevisi di Jember ini
menilai, media
pada saat pemilu legislatif kemarin sangat tidak independen. Media televisi, contohnya, meski
sudah sama dalam hal durasi, tetapi tidak sama dalam hal tone, “dalam setiap momentum
politik, indepensi media perlu dipertanyakan. Padahal media memiliki fungsi yang sangat
vital dalam mensukseskan demokrasi,” paparnya.
Meski begitu
Hanafi juga mengakui jika ada tuntutan industri dalam dunia pers, yang
mengakibatkan media
menjadi
tidak bebas
nilai. Namun bukan berarti media yang tidak jujur yang memaksakan kepentingan mereka dan bersembunyi dalam dogma otoritas
kesucian ‘independensi
media’ lantas dimaklumi, “media memang tidak bebas nilai, sehingga jurnalis menjadi wajib hukumnya
untuk memihak kepada kebenaran, kaum marginal dan terpinggirkan,” katanya,
sembari menegaskan independensi jurnalis lah yang menjadi kata kuncinya.
Sigit Edi Marianto, ketua PWI Jember, yang juga didapuk untuk
menjadi nara sumber melontarkan pernyataan lebih keras lagi, bahwa peran pers
saat ini sudah banyak yang melenceng dari fungsinya, “jangan sampai
media atau atau
wartawan menjadi provokator yang dilegalkan?
Sebab tidak jarang pemberitaan yang muncul ditunggangi oleh kepentingan
oknum-oknum yang mencari untung,” ujar Sigit.
Sementara itu, Ihya Ulumiddin, ketua FWLM Jember mengatakan,
diskusi-diskusi seperti ini harus terus digalakkan. Menurutnya, hasil dari
diskusi ini adalah oto kritik yang berangkat dari kegelisahan bersama akan pentingnya
peran pers dalam proses demokratisasi. “Meski fakta demokrasi kita masih
prosedural, akan tetapi dengan segala keterbatasannya, pers harus mampu mendorong
arah demokrasi kita menjadi demokrasi subtansial. Dan FWLM Jember siap menjadi
motor penggeraknya,” terangnya. (ruz).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar